Pengaruh Stimulus Pemasaran Dalam Keputusan Pembelian Tidak Direncanakan Konsumen

Stimulus di dalam situasi pembelian yang dialami konsumen mempunyai peran dalam pembelian yang tidak direncanakan konsumen. Ketika seorang konsumen sedang berjalan-jalan di suatu supermarket dan melihat potongan harga pada produk sepatu yang sebetulnya kurang diperlukan, seketika itu konsumen mempertimbangkan pembelian tersebut.
Besarnya ketertarikan konsumen pada potongan harga pada produk sepatu yang ada pada display mampu membangkitkan keinginan untuk mencoba sehingga terjadilah pembelian yang tidak direncanakan sebelumnya. Namun dapat saja niat yang muncul untuk mewujudkan pembelian yang tidak direncanakannya ini akan berubah karena konsumen mempertimbangkan kebutuhan, nilai dan ketertarikannya (keterlibatan) pada sepatu tersebut. Apabila kebutuhannya dirasakan tidak mendesak, nilai produk yang akan dibeli dirasakan rendah dan konsumen kurang tertarik untuk memilikinya, maka pembelian yang tidak direncanakannya sebelumnya tidak akan terjadi.


Salam sukses.
Semoga bermanfaat...

Pengaruh Keterlibatan (Involvement) Dalam Keputusan Pembelian Yang Tidak Direncanakan Konsumen

Peran keterlibatan konsumen memang unik karena setiap  konsumen dilingkupi berbagai macam faktor yang akan menentukan keterlibatannya.  Seperti artikel marketing sebelumnya yang mengulas keterlibatan konsumen, kali ini akan dikupas peran keterlibatan dalam keputusan pembelian yang tidak direncanakan konsumen. 
Bagi konsumen yang tidak begitu terlibat dalam pembelian suatu produk, merek apapun sebenarnya tidak menjadi permasalahan, yang penting tingkat kepuasan minimalnya terpenuhi. Sementara untuk produk lain yang memerlukan keterlibatan tinggi dalam memutuskan pembeliannya dapat saja terjadi pada kejadian serupa dimana konsumen menyaksikan adanya potongan harga sebuah jam tangan merek terkenal yang dipasang pada sebuah outlet di sebuah plasa. 
Lay out dimana jam tangan tersebut terpasang seketika itu mempengaruhi keinginannya untuk membeli meskipun tidak ada rencana sebelumnya, namun sebelum memutuskan pembeliannya, konsumen berpikir dahulu dengan membentuk kepercayaan terhadap merek, mengevaluasi merek dan memutuskan untuk melakukan pembelian. Apabila hasil pemikiran konsumen tersebut menghasilkan kepercayaan merek yang rendah dan penilaian merek yang tidak sesuai dengan keinginannya, maka pembelian yang tidak direncanakan sebelumnya tidak akan terjadi.
Atas dasar contoh tersebut nampak bahwa sebelum pembelian yang tidak direncanakan terjadi, konsumen mempertimbangkan terlebih dahulu kebutuhan, nilai dan ketertarikannya atau keterlibatan konsumen. Keterlibatan tinggi (high involvement) ataupun tingkat keterlibatan rendah (low involvement) nampaknya turut berperan dalam menentukan pengambilan keputusan pembelian yang tidak direncanakan yang dilakukan konsumen.

Kepercayaan Konsumen Pada "Word-of-Mouth"

Artikel marketing kali ini menyajikan sebuah hasil penelitian yang diadakan oleh salah satu University di US dan AMA. Secara persis sebagai berikut :
In a poll of chief marketing officers from the Duke University Fuqua School of Business and the American Marketing Association (AMA), the top overall customer priority named was service excellence, followed by building a trusting relationship.
Customer Priorities in the Next 12 Months According to US Marketers, February 2009 (% of respondents)
Unfortunately, building trust can be difficult.
A 2007 Myers Publishing study found only 17% of people trusted advertisers. And things got worse in 2008, when respondents to a Gallup poll said that only 10% of ad practitioners were trustworthy.
Not surprisingly, a 2007 survey from Bridge Ratings found that the most trusted source among US consumers was their own friends, family and acquaintances. In 2009, a TNS poll indicated that the number one trusted source across all media was “recommendations by friends.”
Therefore, it is essential for businesses to find evangelists for their brands who spread the gospel on their own.
According to BIGresearch, however, word-of-mouth recommendations have different effects depending on the type of purchase.
Over one-half of consumers believed that word-of-mouth influenced the restaurants they went to. Fewer were influenced on electronics purchases (44%) and groceries (41%), and slightly more than one-third felt word-of-mouth had some impact on home improvement and apparel purchases.
US Consumers Who Believe Word-of-Mouth Influences Their Purchases, by Category and Race/Ethnicity, October 2008 (% of respondents in each group)
The effectiveness of word-of-mouth also depended on ethnicity. Whites were the most easily swayed by friend recommendations, followed by African-Americans, Asians and Hispanics.
Leveraging word-of-mouth marketing initiatives might matter more to some retailers and product sellers than to others—but whether to a greater or lesser extent, word-of-mouth matters, always. Trust me on that. 
Sumber : emarketer

Faktor-Faktor Situasional Dalam Keputusan Pembelian Konsumen

Perilaku pembelian dapat saja terjadi karena situasi yang menekan konsumen untuk melakukan pembelian muncul pada berbagai tempat dan waktu yang belum ditentukan sebelumnya. Pengaruh situasi dipandang Russel W. Belk sebagai pengaruh yang timbul dari faktor terutama untuk waktu dan tempat yang spesifik. Lebih lanjut Belk menjelaskan bahwa ada lima karakteristik situasi konsumen yang dapat saja mempengaruhi perilaku konsumen yaitu :
  1. Lingkungan fisik
  2. lingkungan sosial
  3. Waktu
  4. Tugas
  5. Keadaan anteseden.
Sementara beberapa pakar pemasaran lainnya yaitu C. Whan Park, Easwar S. Iyer, Daniel C. Smith mengemukakan adanya dua faktor situasional yaitu :
(1) Pengetahuan tentang toko dan (2) Ketersediaan waktu untuk berbelanja yang membuat konsumen berniat melakukan pembelian, baik yang telah direncanakan, pembelian tanpa rencana ataupun merubah merek atau produk yang akan dibelinya.
Pengetahuan toko didefinisikan sebagai mengkonsumsi informasi lay out toko dan konfigurasinya, termasuk lokasi produk dan merek. Ketersediaan waktu untuk berbelanja merupakan persepsi konsumen terhadap waktu yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan berbelanja dengan waktu yang tersedia.
Ketersediaan waktu dapat pula mempengaruhi keputusan konsumen dalam situasi tertentu. Akibat adanya tekanan waktu, secara progresif konsumen akan mengurangi waktu pencarian informasi. Penggunaan informasi yang tersedia juga akan menurun, dan informasi negatif atau yang tidak menguntungkan turut pula dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan akibat adanya tekanan waktu.

Sumber Keterlibatan Konsumen

Tingkat keterlibatan yang dialami konsumen menurut pakar marketing yaitu Peter dan Olsen dipengaruhi oleh 2 (dua) sumber yaitu relevansi pribadi-intrinsik dan situasional.

Relevansi pribadi-intrinsik (intrinsik self-relevant) mengacu pada pengetahuan yang dimiliki konsumen melalui pengalaman masa lalu terhadap suatu produk. Relevansi pribadi-intrinsik adalah fungsi ciri konsumen dan produk. Ciri konsumen yang utama adalah nilai dan tujuan hidup masyarakat. Ciri produk yang relevan adalah atribut produk dan konsekuensi fungsionalnya seperti manfaat atau risiko yang diperkirakan, ciri yang lain adalah situasi sosial dan komitmen waktu (misalnya, membeli kendaraan mengandung keterlibatan yang tinggi karena membutuhkan komitmen atas merek yang dipilih untuk waktu yang cukup panjang).

Relevansi pribadi-situasional (intrinsik self-relevant) ditentukan aspek lingkungan fisik dan sosial yang ada di sekitarnya konsumen yang akan segera mengaktifkan konsekuensi dan nilai penting, sehingga membuat produk dan merek terlihat secara pribadi relevan. Misalnya, seorang konsumen yang melihat promosi potongan harga 50% untuk sebuah kacamata merek terkenal di sebuah toko, maka ia dapat mengaktifkan pikirannya untuk memiliki kacamata tersebut.

Relevansi pribadi-intrinsik dan situasional selalu berkombinasi untuk menciptakan tingkat keterlibatan yang benar-benar dialami konsumen selama konsumen melakukan proses pengambilan keputusan. Hal ini berarti bahwa konsumen mengalami beberapa tingkat keterlibatan ketika membuat pilihan pembelian, bahkan untuk produk yang relatif tidak penting. Walaupun sumber keterlibatan pribadi untuk produk konsumsi sehari-hari rendah, namun sumber situasional cenderung mempengaruhi keterlibatan yang dirasakan konsumen.

Namun tidak semua pembelian yang dilakukan konsumen memerlukan keterlibatan yang tinggi (high involvement). Dengan kata lain, konsumen tidak selalu memikirkan merek apa yang harus dibelinya, pada toko mana harus dibeli dan kapan harus membelinya. Bagi konsumen yang tidak begitu terlibat dalam pembeliannya (low involvement), merek apapun sebenarnya dapat menggantikan merek yang dicari, yang penting merek tersebut mampu memenuhi manfaat yang dicarinya.

Pengaruh Situasional Dalam Keputusan Pembelian Konsumen

Pengaruh situasional yang dialami konsumen dalam melakukan pembelian yang datang secara tiba-tiba karena timbulnya dipengaruhi berbegai aspek yang ada di sekitarnya. Beberapa aspek tersebut dikemukakan oleh salah seorang pakar marketing Russel W. Belk yaitu:
  • Physical surrounding yaitu aspek-aspek lingkungan fisik dan ruang yang nyata yang mencakup aktivits konsumen. 
  • Stimuli seperti warna, suara, cahaya, cuaca, dan pengaturan ruang dari orang dan objek lain mempengaruhi perilaku konsumen. 
  • Pengaturan lingkungan fisik penting dalam upaya untuk membangun citra, memberikan kemudahan serta kenyamanan terutama dalam berbelanja. 
  • Pengaruh lainnya adalah lokasi toko, layout toko dan atmosfir toko. 
Lokasi toko dimana toko itu dibangun akan mempengaruhi minat konsumen untuk mengunjungi toko tersebut. Sementara tata letak rak pajangan dalam toko akan mempengaruhi perilaku pengunjung dalam berbelanja. Atmosfir toko ikut pula mempengaruhi karena pengaturan udara (AC), tata ruang toko, penggunaan warna cat, penggunaan jenis karpet, warna karpet, bahan-bahan rak untuk menempatkan produk turut pula membentuk kesan toko dalam benak konsumen.
Pembelian yang akan dilakukan konsumen tidak akan pernah terjadi kalau kebutuhan atau motif yang mendasari pembelian tersebut tidak diaktifkan. Untuk itu upaya yang dilakukan pemasar adalah menempatkan produk atau jasa pada posisi yang menguntungkan dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Pentingnya produk dan besarnya minat terhadap produk dalam situasi tertentu turut pula mempengaruhi konsumen untuk memutuskan pembeliannya. 

Pentingnya Situasi Pembelian Bagi Konsumen

Terjadinya pembelian yang tidak direncanakan pernah dilakukan oleh siapa saja terutama pada waktu berbelanja di toko-toko pengecer. Dewasa ini banyak bermunculan jenis usaha eceran (retailing) diantaranya supermarket, superstore, hypermarket dan discount stores. Jenis usaha eceran ini menyediakan hampir semua produk kebutuhan sehari-hari sampai sepatu, pakaian, dan barang-barang elektronika.
Sengitnya tingkat persaingan di antara supermarket, superstore, hypermarket dan discount stores, menuntut setiap retailer berusaha menawarkan berbagai rangsangan yang mampu menarik minat konsumen untuk melakukan pembelian. Untuk itu situasi pembelian terutama lingkungan fisik seperti warna, suara, cahaya, cuaca, dan pengaturan ruang dari orang perlu diperhatikan retailer, karena adanya lingkungan fisik yang menarik diharapkan mampu menarik konsumen untuk melakukan pembelian yang tidak direncanakan sebelumnya. Begitu pula dengan ketersediaan waktu yang dimiliki konsumen, karena konsumen yang mempunyai waktu terbatas akan terbatas pula mencari dan mengolah informasi yang ada dalam toko sehingga konsumen hanya melakukan pembelian yang direncanakan saja, sebaliknya bagi konsumen yang mempunyai waktu mencukupi akan melakukan pencarian informasi dan mengolahnya dengan baik sehingga diharapkan dapat memunculkan keinginan pembelian barang yang tidak direncanakannya. Namun pembelian yang tidak direncanakan yang dilakukan konsumen terlebih dahulu mempertimbangkan kebutuhan, nilai dan ketertarikannya (keterlibatan) pada produk yang akan dibeli.

Keputusan Pembelian Tanpa Rencana (Unplanned Buying)

Keputusan pembelian tanpa rencana seringkali dilakukan konsumen setelah memasuki toko, supermarket, atau mall seperti diungkapkan seorang pakar marketing Easwar S. Iyer bahwa pembelian produk tanpa rencana dibuat konsumen pada saat di dalam toko dan bukan merupakan prioritas pada saat sebelum memasuki toko. Dengan kata lain impulse purchasing sebagai unplanned buying, pembelian yang dilakukan konsumen tanpa adanya rencana terlebih dahulu.

Henry Assael menambahkan, ketika konsumen berbelanja, konsumen sering membuat suatu keputusan pembelian di dalam toko daripada mengutamakan keputusan pembelian sebelum memasuki toko. Hal tersebut terjadi sebagai akibat pengaruh lingkungan dalam toko terutama faktor display, penataan rak, pengemasan, dan harga yang ditawarkan daripada pembelian terencana (preplanned purchase) yang merupakan pembelian dimana konsumen telah menetapkan atau mengetahui produk apa yang akan dibelinya sebelum memasuki sebuah toko.

Akibatnya, faktor-faktor rangsangan dalam toko berperan dalam mempengaruhi pengambilan keputusan pembelian yang tidak direncanakan sebelumnya. Dalam pembelian yang tidak direncanakan, konsumen cenderung bergantung pada informasi yang tersedia di dalam toko dan tidak terjadi pengolahan informasi secara mendalam.



Pengertian Keterlibatan Konsumen

Setiap akan melakukan pengambilan keputusan atau pembelian, konsumen terlebih dahulu mempertimbangkannya. Ada lama ada cepat memutuskan baik-buruknya, kurang lebihnya, atau untung ruginya. Yah itu sebetulnya Kita melakukan proses keterlibatan antara sesuatu yang Kita pikirkan dengan diri Kita atau sering disebut ”Keterlibatan konsumen”.

Beberapa pakar manajemen pemasaran mengungkapkan pengertian keterlibatan konsumen sebagai berikut :

Keterlibatan konsumen diartikan oleh Engel, Blackwell, dan Miniard sebagai tingkat kepentingan pribadi yang dirasakan dan atau minat yang dibangkitkan oleh stimulus di dalam situasi yang spesifik. Keterlibatan yang paling baik dipahami sebagai fungsi dari orang, objek dan situasi.

Pride dan Ferrel mengungkapkan bahwa tingkat keterlibatan konsumen merupakan alasan mengapa konsumen termotivasi untuk mencari informasi produk dan merek tertentu.

Peter dan Olson menegaskan bahwa keterlibatan merupakan status motivasi yang menggerakkan serta mengarahkan perilaku konsumen pada saat membuat keputusan.

Setiap konsumen mempunyai motivasi yang mendasari dalam bentuk kebutuhan dan nilai. Sementara keterlibatan akan muncul ketika objek (produk, jasa atau pesan promosi) dirasakan dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan, tujuan dan nilai yang terasa penting. Pemenuhan kebutuhan ini dirasakan akan bervariasi atau tidak sama dari satu situasi ke situasi berikutnya.


Semoga bermanfaat...


3 Peran Opinion Leader Dalam Proses Pengambilan Keputusan

Terdapat beberapa peran yang dilakukan opinion leader, menurut Wells dan Prensky setidaknya ada 3 peran opinion leader dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan yaitu :

  1. Authority Figure, di sini opinion leader berperan sebagai pemberi informasi, anjuran atau pengalaman pribadinya dengan tujuan untuk membantu konsumen memuaskan keinginannya. Orang-orang yang termasuk authority figure adalah keluarga, teman dan relasi
  2. Trend Setter, yaitu seseorang yang pengalaman pribadinya diikuti oleh orang lain. Konsumen ini mempunyai gaya hidup untuk ditiru, meskipun tidak peduli apakah orang lain akan mengkuti gaya hidupnya atau tidak. Trend setter pada umumnya merupakan seseorang yang terkenal seperti bintang film atau olahragawan
  3. Local opinion leaders yaitu seorang individu yang berada di dalam kelompok referensi positif, memberikan anjuran dan pengalaman pribadi tentang produk mana yang sebaiknya dipilih seseorang agar dapat diterima dalam kelompok tersebut. Kredibilitas seorang individu berdasarkan kenyataan bahwa mereka menggunakan produk itu dan menjadi bagian dari kelompok tersebut.

Keefektifan Opinion Leader Dalam Proses Pengambilan Keputusan Konsumen

Pada artikel marketing sebelumnya telah diulas mengenai opinion leader, nah pada kesempatan ini akan diulas artikel marketing melanjutkan dari tema opinion leader, yaitu keefektifan opinion leader dalam proses pembuatan keputusan konsumen.

Opinion leader menurut pendapat Schiffman dan Kanuk memiliki beberapa keefektifan dalam mempengaruhi proses pembuatan keputusan konsumen antara lain karena :

  1. Kredibilitas, opinion leader merupakan sumber informasi yang memiliki kredibilitas tinggi karena bertujuan memberikan informasi atau saran mengenai produk atau jasa tanpa mendapatkan kompensasi apapun dari saran yang mereka berikan
  2. Informasi positif dan negatif tentang suatu produk, seorang opinion leader tidak hanya memberikan informasi tentang keuntungan suatu produk, seperti yang lazimnya dilakukan oleh pemasar, tetapi juga tentang kekurangan produk tersebut
  3. Informasi dan saran, opinion leader adalah sumber informasi dan saran. Opinion leader dapat berbicara mengenai pengalaman mereka dengan suatu produk, sehubungan dengan apa yang mereka ketahui tentang produk tersebut, atau yang lebih agresif, menganjurkan orang lain untuk membeli atau menghindari produk tertentu
  4. Kategori yang spesifik, opinion leader sering memiliki spesialisasi dalam kategori produk tertentu, yang mana mereka memberikan informasi dan saran sehubungan dengan produk tersebut. Ketika kategori produk lain dibahas, mereka cenderung akan berganti peran menjadi penerima opini
  5. Two way street, konsumen yang menjadi opinion leader dalam satu situasi sehubungan dengan sebuah produk, dapat menjadi penerima opini dalam situasi yang lain, meskipun untuk produk yang sama.

Peran Informasi Dalam Pengambilan Keputusan Konsumen

Pengambilan keputusan pembelian konsumen terhadap suatu produk diawali oleh adanya kesadaran atas pemenuhan kebutuhan dan keinginannya. Setelah menyadari kebutuhan dan keinginannya, konsumen akan mencari informasi mengenai keberadaan produk yang diinginkan. Proses pencarian informasi ini akan dilakukan dengan mengumpulkan semua informasi yang berhubungan dengan produk yang diinginkan.

Dari berbagai informasi yang diperoleh konsumen melakukan seleksi atas alternatif-alternatif yang tersedia. Selanjutnya dengan menggunakan berbagai kriteria yang ada dalam benak konsumen, salah satu merek produk dipilih untuk dibeli.

Dalam kondisi tertentu berdasarkan waktu dan usaha, konsumen dapat secara langsung membandingkan alternatif-alternatif terhadap berbagai macam atribut dan salah satu dari pilihan tersebut akan menjadi pilihan yang utama.

Pada kenyataannya, konsumen sering menghadapi situasi yang menuntut untuk melakukan pilihan diantara beberapa alternatif. Beberapa analisis menunjukkan bahwa tingkat kesulitan dalam memilih suatu pilihan merupakan penyebab terjadinya penundaan keputusan pembelian. Untuk menciptakan keputusan membeli (purchasing decision), konsumen dapat memperoleh dan memproses informasi melalui pengalaman ataupun pengetahuannya terhadap suatu produk.

Motif Berbelanja Konsumen

Belanja merupaka kegiatan yang menyenangkan bagi sebagian orang, karena belanja bukan saja aktivitas jual beli saja, namun juga merupakan salah satu kegiatan rekreasi pada masyarakat dewasa ini. Berbeda dengan beberapa tahun lalu, sekarang kegiatan belanja bukan hanya sebagai aktivitas rutin untuk memenuhi barang-barang kebutuhan, tetapi seringkali kegiatan belanja menjadi hiburan untuk menghilangkan kejenuhan dari aktivitas sehari-hari yang dilakukan.

Konsumen mempunyai berbagai motivasi atau alasan berbelanja, selain untuk mendapatkan produk, konsumen juga memandang berbelanja sebagai kegiatan menyenangkan yang disertai satu atau lebih aktivitas seperti yang diungkapkan pakar marketing Henry Assael bahwa berbelanja merupakan aktivitas menikmati lingkungan toko, menelusuri dan mengamati penawaran-penawaran toko, berbicara pada pramuniaga, serta membelanjakan uang.

Kegiatan belanja yang tampaknya sederhana ternyata melibatkan interaksi rumit antara berbagai aspek lingkungan dimana kegiatan belanja dilakukan sehingga strategi pemasaran dirancang untuk memahami perilaku berbelanja konsumen ini.


Beberapa Cara Mempengaruhi Opinion Leader

Dalam artikel marketing sebelumnya telah diulas mengenai pentingnya opinion leader dalam proses pengambilan keputusan konsumen. Nah nampak bahwa opinion leader merupakan orang yang sangat sering mempengaruhi sikap dan perilaku orang lain. Dengan demikian opinion leader merupakan elemen yang sangat penting dalam proses pengambilan keputusan pembelian yang dilakukan konsumen.

Mengingat pentingnya opinion leader dalam turut mempengaruhi proses pengambilan keputusan pembelian konsumen, maka timbullah usaha-usaha untuk mempengaruhi opinion leader. Marketer sering menggunakan teori komunikasi dari mulut ke mulut ini dalam kampanye iklannya. Marketer sering langsung mempengaruhi kelompok opinion leader atau juga secara tidak langsung dengan menampilkan konsumen tertentu, misalnya artis, dokter atau profesional lainnya, untuk mengatakan hal positif dari produk yang ditawarkan.

Cara-cara yang sering dilakukan oleh marketer antara lain :
  1. Mempengaruhi opini secara langsung
  2. Merangsang komunikasi word of mouth dalam iklan
  3. Merangsang komunikasi word of mouth melalui iklan
  4. Menggunakan opinion leader untuk menyampaikan pesan.


Semoga bermanfaat....

Bilamana Terjadi Pengaruh Opinion Leader ?

Tidak semua individu dapat dipengaruhi oleh opinion leader, karena peran opinion leader dapat terhjadi pada kondisi tertentu saja. Menurut beberapa pakar Marketing seperti James F. Engel,., Roger D. Blackwell, Paul W. Miniard, pengaruh pribadi dalam bentuk opinion leader paling mungkin terjadi ketika satu atau lebih dari kondisi dan situasi berikut ini terjadi, yaitu :

  1. Konsumen tidak mempunyai informasi yang cukup untuk membuat pilihan yang terinformasi secara memadai.
  2. Produknya kompleks dan sulit untuk dievaluasi dengan menggunakan kriteria yang objektif. Oleh karena itu, pengalaman orang lain berfungsi sebagai “percobaan yang seolah dilakukan sendiri”.
  3. Orang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan untuk mengevaluasi produk atau jasa, tidak peduli bagaimana informasi disebarkan dan disajikan.
  4. Sumber lain dirasakan mempunyai kredibilitas rendah.
  5. Orang yang berpengaruh lebih mudah diakses daripada sumber lain sehingga dapat diajak berkonsultasi dengan menghemat waktu dan tenaga.
  6. Pertalian sosial yang kuat di antara pengirim dan penerima.
  7. Individu bersangkutan mempunyai kebutuhan yang tinggi akan persetujuan sosial.

Bagaimana dengan diri Anda ?
Apakah opinion leader mempengaruhi keputusan pembelian yang Anda lakukan ?

Komunikasi Pemasaran Melalui Opinion Leader

Komunikasi pemasaran yang baik dapat terjadi jika informasi yang disampaikan dapat mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli suatu produk. Program komunikasi pemasaran yang efektif dibutuhkan oleh pemasar agar produk atau jasa baik lama maupun baru yang ditawarkan dapat memenuhi kebutuhan atau keinginan konsumen sasaran.

Dalam melakukan proses pengambilan keputusan pembelian terhadap suatu produk, konsumen dipengaruhi oleh berbagai informasi yang diterimanya. Sumber informasi yang berbeda akan memberikan hasil informasi yang berbeda pula karena setiap sumber informasi dapat menimbulkan perbedaan persepsi.

Kebanyakan konsumen menerima informasi dari orang lain, dapat saja informasi tersebut berasal dari teman, saudara, ibu, bapak, tetangga atau teman satu kelompok. Biasanya konsumen menerima informasi dari orang yang diyakini bahwa orang tersebut mempunyai informasi yang benar, karena orang tersebut mempunyai pengalaman luas dan ahli.

Orang-orang yang dapat memberikan informasi tersebut dipandang sebagai pemimpin opini (opinion leader), seperti yang diungkapkan Henry Assael berikut :

“..individuals most likely to influence others through word of mouth are opinion leaders”.
Opinion leader adalah individu yang dapat memberikan informasi dan mempengaruhi individu yang lain untuk membeli suatu produk/ jasa melalui komunikasi dari mulut ke mulut.

Nah dengan demikian nampak bahwa opinion leader punya peran penting dalam komunikasi pemasaran karena individu yang punya peran sebagai opinion leader menggunakan sejumlah pengaruh pada pengambilan keputusan yang dilakukan orang lain.

Peran Komunikasi Pemasaran Dalam Menunjang Keputusan Pembelian Konsmen

Pada saat menentukan keputusan pembelian, konsumen melakukan pencarian informasi secara ekstensif dan kemudian memproses informasi tersebut sebagai bahan pertimbangan sebelum akhirnya memutuskan pembelian.

Hal ini menunjukkan peran penting komunikasi dalam menunjang proses keputusan pembelian, seperti yang disampaikan oleh Henry Assael sebagai berikut :

“Since they provide information that influences consumer’s purchases, communications are central to consumer’s decision making.” Untuk itu tidaklah cukup bagi perusahaan hanya sekedar mengembangkan produk dengan baik, menawarkan dengan harga menarik, dan membuatnya mudah diperoleh pelanggan sasarannya. Namun perusahaan harus juga berkomunikasi dengan para pelanggan yang ada sekarang, pelanggan potensial, pengecer, pemasok, serta pihak-pihak yang memiliki kepentingan pada perusahaan.

Terdapat beberapa sumber informasi yang dapat membantu pembuatan keputusan konsumen, Henry Assael mengungkapkannya sebagai berikut :

“To make purchasing decisions, consumers acquire and process information from advertising, from their experience with products, from friends and neighbors, and from other sources”. Dalam membuat keputusan pembelian, konsumen dapat memperoleh informasi dari iklan, dari pengalaman terhadap suatu produk, dari teman dan tetangga, serta dari sumber informasi yang lain.

Nah nampak bahwa terasa penting bagi setiap perusahaan mengadakan komunikasi pemasaran dalam membantu dan mengarahkan konsumen agar dapat memenuhi keinginan dan kebutuhannya dengan cara menyadarkan semua pihak yang terkait dalam komunikasi pemasaran untuk berbuat lebih baik dengan memberikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen.

What Defines a Good Brand ?

If you go by numerous of the republican labels across generations, numerous of the bulk remembered trademarks are those that unite with their consumers, deliver a remove outcome, and install customer loyalty.

Building a brand is not an straightforward thing to do. It takes a lot of time, motion, and currency, and you don’t receive to presume the trophies immediately. Trademarks such as Nike, Ford, Pepsi, or Coca-Cola don’t eventuate overnight. It takes a where to build a brand that population will remember you by, a brand that consumers essentially construe or one they overtly ask for, or a brand that will endorse them to act.

Here are more account ad tips that can augment you in your brand-building efforts:

- Have a logo or a trademark written for your brand. It has to be something defining and something that sets your brand apart. It ought be memorable and essentially recognizable.

- Craft a tagline that delivers your aftermath clearly. Some of the best taglines are those we remember later a brand is decades old, which goes to demonstrate how determined the brand examine is.

- Make exercise of dissimilar types of media for your account promotion. A tool that tips in your favor is the Internet because it’s cheaper than traditional media. Internet tools such as blogging, social networking, and online surveys augment in scholarly your consumers and their compensating for decisions.

- Get to know the industry by uniting trade shows. This involves a extensive estimate of currency, but not basically will this augment you know every one any person who your contenders are, it will also augment you receive to know customers every one any person who can give you feedback on how to transform your product.

- Get yield surveys in the hands of consumers. This is one of the more extensive account ad practices

- Learn from the pros. Study successful brands. There’s none boulevard to a successful brand, so it is essentially a trial-and-error thing.

If one strategy doesn’t venture, endeavour another one. Get account ad tips from other entrepreneurs.

Brand makeup is a concerted motion in producing your brand visible. If these account ad tips don’t venture for you, pinpoint other ways that might venture for your brand. Remember that no couple labels are the same, and it is constituent of your tour as a marketer to examine what processes will merit you success.



By: Remy Lebeau

Penyebab Kepuasan atau Ketidakpuasan Konsumen

Banyak sekali faktor yang membuat konsumen puas atau tidak puas. Namun menurut Schnaars faktor-faktor tersebut secara umum dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Harapan
Harapan terbentuk terlebih dahulu sebelum melakukan pembelian. Komponen ini merupakan manfaat yang dicari konsumen tentang produk atau jasa dalam melakukan tugasnya. Konsumen membentuk harapan ini berdasarkan pengalaman dari penggunaan produk atau jasa tersebut, komunikasi dari mulut ke mulut, aktivitas pemasaran yang dilakukan perusahaan.


2. Hasil yang dicapai produk atau jasa
Hasil yang dicapai produk atau jasa adalah produk atau jasa dalam menjalankan tugasnya di dalam kenyataan atau dapat dikatakan merupakan persepsi dari konsumen dalam mengukur hasil (kenyataan) yang dicapai oleh produk atau jasa.


Kepuasan konsumen tercapai bila produk sesuai atau melebihi harapan yang diinginkan konsumen, sedangkan ketidakpuasan tercapai bila produk di bawah harapan yang dinginkan konsumen.

Produk yang melebihi atau kurang dari harapan konsumen disebut diskonfirmasi positif dan diskonfirmasi negatif. Diskonfirmasi positif terjadi bila performa produk ternyata melebihi apa yang diharapkan konsumen sehingga terjadilah diskonfirmasi yang menyenangkan terhadap pengharapan konsumen sebelumnya. Dan sebaliknya, diskonfirmasi negatif terjadi bila performa produk kurang dari apa yang diharapkan konsumen sebelumnya dan terjadi diskonfirmasi yang tidak menyenangkan.

Kepuasan atau ketidakpuasan pembeli mempengaruhi tingkah laku berikutnya. Konsumen yang tidak puas akan melakukan tindakan yang berbeda dengan konsumen yang puas. Konsumen yang tidak puas akan mengurangi ketidakcocokan dengan mengambil beberapa tindakan seperti menyampaikan protes langsung kepada penjual, menyampaikan keluhan kepada lembaga pengaduan konsumen, menyebarkan kesan jelek kepada teman-temannya perihal produk atau perusahaan atau penjualnya sampai pada akhirnya menghentikan tindakan pembelian produk dari perusahaan atau penjual yang bersangkutan.



Sumber : Steven P. Schnaars, Marketing Strategy: a Customer Driven Approach, The Free Press, Mac Millan Inc., New York.

4 Karakteristik Produk Jasa Menurut Kotler

Produk berupa jasa memiliki karakteristik yang berbeda dengan produk berupa barang. Menurut Kotler terdapat 4 karakteristik yang dimiliki oleh jasa, yaitu:

1. Tidak berwujud (intangibility)
Jasa adalah sesuatu yang tidak berwujud. Tidak seperti produk fisik, jasa tidak dapat dilihat, dirasa, didengar, atau dicium sebelum jasa itu dibeli. Misalnya seseorang yang menjalani “perawatan kesehatan” tidak dapat melihat hasilnya sebelum membeli jasa tersebut. Untuk mengurangi ketidakpastian, pembeli akan mencari tanda atau bukti dari mutu jasa tersebut. Konsumen akan mengambil kesimpulan mengenai mutu jasa tersebut dari tempat, orang, peralatan, alat komunikasi, dan harga yang mereka lihat.

2. Tidak dapat dipisahkan (inseparability)
Jasa umumnya diproduksi secara khusus dan dikonsumsi pada waktu yang bersamaan, sehingga mutu dari suatu jasa terjadi pada saat pemberian jasa. Interaksi yang terjadi antara penyedia jasa dan konsumen sangat mempengaruhi mutu dari jasa yang diberikan. Terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh penyedia jasa untuk menjaga mutu pelayanannya yaitu:

a) Bekerja dengan kelompok yang lebih besar, jadi pelayanan yang biasanya diberikan orang per orang sekarang langsung beberapa orang.
b) Bekerja lebih cepat.
c) Melatih lebih banyak karyawan dan membina keyakinan pada diri konsumen.

3. Keragaman (variability)
Jasa sangat beragam, artinya memiliki banyak variasi jenis dan kualitas tergantung pada siapa, kapan, dan di mana jasa tersebut disediakan. Para pemakai jasa sangat peduli dengan keragaman yang tinggi ini dan seringkali mereka meminta pendapat orang lain sebelum memutuskan untuk memilih. Untuk menjaga mutu pelayanan dapat dilakukan melalui:

a) Investasi dalam seleksi dan pelatihan personalia yang baik.
b) Melakukan standardisasi terhadap proses kinerja di seluruh organisasi tersebut.
c) Memonitor kepuasan konsumen baik melalui sistem pesan dan kesan, survei konsumen, dan sebagainya.

4. Tidak tahan lama (perishability)
Jasa tidak dapat disimpan karena sifatnya yang tidak berwujud fisik. Ini tidak menjadi masalah bila permintaannya stabil karena mudah untuk melakukan persiapan pelayanan sebelumya. Tetapi jika permintaan berfluktuasi maka akan menimbulkan masalah.

Pengertian Niat Berperilaku Konsumen

Pemahaman terhadap perilaku konsumen akan memudahkan manajemen dalam upaya untuk mengembangkan produk atau jasanya sesuai kebutuhan dan keinginan konsumen. Keinginan berperilaku konsumen seringkali didasarkan pada kemungkinan tindakan yang akan dilakukan.

Niat berperilaku (behavioral intentions) didefinisikan Mowen sebagai keinginan konsumen untuk berperilaku menurut cara tertentu dalam rangka memiliki, membuang, dan menggunakan produk atau jasa. Jadi konsumen dapat membentuk keinginan untuk mencari informasi, memberitahukan orang lain tentang pengalamannya dengan sebuah produk, membeli sebuah produk atau jasa tertentu, atau membuang produk dengan cara tertentu.

Menurut Peter dan Olson, keinginan berperilaku adalah suatu proposisi yang menghubungkan diri dengan tindakan yang akan datang, seperti : “ Saya ingin pergi berbelanja hari Minggu besok”.

Pengukuran niat berperilaku dapat menjadi cara terbaik untuk memprediksikan perilaku pembelian yang akan datang. Pendapat ini ditegaskan oleh Zeithaml, Berry, dan Parasuraman yang mengatakan, “The consequences of service-quality perceptions on individual-level behavioral intentions can be viewed as signals of retention or defection and are desirable to monitor.”
Konsekuensi yang timbul dari persepsi terhadap kualitas jasa dalam bentuk niat berperilaku konsumen individual dapat dipandang sebagai sinyal keberhasilan atau kegagalan perusahaan untuk mempertahankan konsumennya.




Semoga bermanfaat....

Perilaku Berpindahnya Konsumen pada Industri Jasa (Customer Switching Behaviour In Service Industries)

Salah satu perilaku konsumen yang tidak puas atau kecewa akibat dari persepsi negatif atas kualitas layanan yang diterima adalah berpindahnya konsumen ke penyedia jasa lainnya. Secara persis apa saja penyebabnya, hanya konsumen yang tahu. Namun Keaveney mengelompokkan perilaku berpindahnya konsumen dalam industri jasa sebagai berikut :

1. pricing (pemberian harga)
2. inconvenience (ketidaknyaman)
3. core service failures (kegagalan pemberian jasa inti)
4. service encounter failures (kegagalan pelayanan jasa inti)
5. employee response to failed service (tanggapan karyawan atas kegagalan jasa)
6. attraction by competitor (kemenarikan pesaing)
7. ethical problems (masalah etika)
8. involuntary switching (berpindah tidak sengaja)


Faktor pricing (pemberian harga) menyebabkan konsumen beralih pada penyedia jasa lain karena harga yang dirasakan tidak dapat memberikan manfaat yang sesuai harapannya. Dalam perbankan, harga merupakan biaya-biaya yang dikenakan kepada nasabah. Apabila biaya yang dikenakan terlalu tinggi, akibatnya manfaat yang diterima tertalu rendah sehingga nasabah merasa biaya yang dikenakan mahal. Hal ini dapat menimbulkan kekecewaan yang berakibat munculnya keinginan untuk pindah ke bank lain.

Untuk inconvenience (ketidaknyaman) merupakan penyebab berpindahnya konsumen karena lokasi penyedia jasa yang tidak mudah dijangkau, kenyamanan ruang, dan waktu menunggu untuk dilayani. Lokasi penyedia jasa yang strategis diharapkan semakin mempermudah konsumen untuk menerima layanan dari penyedia jasa, bila konsumen mengalami kesulitan, maka akan cenderung penyedia jasa yang mudah untuk dijangkaunya.

Core service failures (kegagalan pemberian jasa inti) merupakan penyebab kepindahan konsumen karena kesalahan ataupun masalah teknis pada jasa yang ditawarkan kepada konsumen. Hal ini dapat terjadi bila konsumen menderita kerugian karena terjadi kekeliruan karyawan misalnya pencatatan yang keliru oleh karyawan, diagnosa yang keliru dari dokter sebuah rumah sakit. Kejadian ini tentu akan membuat kecewa konsumen yang dapat saja berdampak munculnya keinginan untuk pindah ke penyedia jasa lain.

Service encounter failures (kegagalan pelayanan jasa inti) merupakan berpindahnya konsumen disebabkan oleh kegagalan pelayanan jasa inti ini. Penyebabnya karena sikap karyawan yang antara lain kurang perhatian, tidak sopan, tidak tanggap, dan kurang menguasai lingkup pekerjaannya. Apabila konsumen dilayani oleh karyawan yang tidak dapat memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi, maka konsumen akan terus mencari jawaban atas permasalahannya hingga ke penyedia jasa lain. Bila penyedia jasa lain dapat memberikan solusi tersebut, maka besar kemungkinan konsumen akan memindahkan kepercayaannya kepada penyedia jasa tersebut.

Employee response to failed service (tanggapan karyawan atas kegagalan jasa) merupakan terjadinya perpindahan konsumen karena kegagalan perusahaan penyedia jasa dalam menangani keluhan konsumen. Apabila konsumen mempunyai masalah yang gagal diselesaikan karyawan, maka akan menimbulkan rasa kecewa dan konsumen pun mengeluh ke karyawan pihak lain. Hal ini juga dapat menimbulkan kenginan untuk pindah.

Attraction by competitor (kemenarikan pesaing) merupakan perpindahan konsumen karena kemenarikan perusahaan penyedia jasa yang lain dibandingkan dengan perusahaan penyedia jasa sebelumnya yang menyebabkan ketidakpuasannya. Kemenarikan ini dapat terjadi karena biaya yang dirasakan lebih murah ataupun pelayanan yang lebih baik.

Ethical problems (masalah etika) merupakan masalah yang berhubungan dengan moral, ketidakamanan, ketidaksehatan ataupun masalah perilaku yang berhubungan norma-norma sosial. Termasuk dalam kategori ini adalah perilaku yang tidak jujur yaitu memberikan janji-janji berupa pemberian hadiah, perilaku yang mengintimidasi misalnya pada nasabah nakal yang terlambat melakukan pembayaran sehingga pihak bank melakukan intimidasi agar nasabah bersedia melakukan pembayaran. Rasa tidak aman juga dapat dirasakan konsumen karena identitas yang seharusnya menjadi rahasia disampaikan kepada pihak lain tanpa persetujuannya.

Involuntary switching (berpindah tidak sengaja) terjadi karena faktor diluar kemampuan konsumen maupun perusahaan penyedia jasa, seperti pindahnya tempat perusahaan penyedia jasa, ataupun pindahnya tempat tinggal konsumen. Misalnya berpindahnya lokasi rumah makan favorit konsumen yang tidak mudah dijangkaunya sehingga konsumen memutuskan untuk pindah ke rumah makan yang lebih dekat dengan tempat tinggal atau tempatnya bekerja.


Beberapa Manfaat Kepuasan Konsumen

Persaingan dalam dunia usaha selalu sengit dan menarik dengan berbagai strategi dan program pemasarannya, dengan harapan tidak saja menarik minat konsumen namun memuaskannya. Kata kepuasan konsumen sering terdengar diberbagai kesempatan yang berhubungan dengan layanan kepada konsumen. Namun apa sih yang didapatkan oleh konsumen yang merasa puas, kok penjual berupaya keras melakukannya. Inilah beberapa pandangan yang diungkapkan beberapa pakar mengenai manfaat yang dirasakan dari kepuasan konsumen.

Menurut Josee Bloemer, Ruyter dan Wetzel adanya kepuasan pelanggan dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya adalah hubungan antara perusahaan dan para pelanggannya menjadi harmonis, memberikan dasar yang baik untuk pembelian kembali, dapat mendorong terciptanya loyalitas pelanggan, dan timbulnya kesediaan pelanggan untuk membayar dengan harga yang wajar atas jasa yang diterimanya.

Menurut Hawkins, konsumen yang setia atau pelanggan yang mempunyai komitmen (commited customer) terhadap suatu perusahaan atau merek, memiliki kecintaan emosional kepada suatu merek atau perusahaan tersebut. Para pelanggan yang menyukai perusahaan atau merek dapat tercermin dalam sikap atau gaya yang mirip dengan persahabatan. Sikap pelanggan ini menggambarkan komitmen terhadap perusahaan.

Oleh karena itu di tengah persaingan yang semakin ketat ini diperlukan upaya untuk membina hubungan yang baik antara penyedia jasa dan pelanggan, sehingga terjalinnya kemitraan jangka panjang dengan pelanggan secara terus menerus ini diharapkan dapat menghasilkan bisnis ulangan (repeat business). Dengan upaya ini diharapkan para pelanggan memperoleh kepuasan sesuai harapannya, bersedia membayar dengan harga yang ditetapkan dan mempunyai perasaan komitmen kuat terhadap perusahaan sehingga bersedia untuk menggunakan kembali di masa mendatang.

The Theory of Planned Behavior and Internet Purchasing

Pada kesempatan ini blog artikel manajemen mengupas sedikit sebuah jurnal dengan judul “The Theory of Planned Behavior and Internet Purchasing” yang ditulis oleh Joey F. George seorang Professor of Information Systems di Florida State University, Tallahassee, Florida,USA.

Abstrak penelitian ini mengungkapkan bahwa berdasarkan pendapat beberapa jajak pendapat diketahui bahwa banyak konsumen menolak melakukan pembelian melalui internet karena kekhawatiran tentang kerahasiaan data pribadinya diketahui oleh pedagang di Internet. Untuk itu dengan menggunakan teori perilaku yang telah direncanakan sebagai dasar kajian ini diteliti atau diinvestigasi hubungan antara kepercayaan tentang privasi dan kepercayaan pada Internet, bersamaan dengan kepercayaan tentang kontrol terhadap perilaku dan harapan penting lain, serta perilaku pembelian online. Secara lengkap jurnal ini dapat di download disini.

Memahami Persepsi Atas Hubungan Dengan Pelanggan (Customers Relationship Perceptions)

Pelayanan kepada konsumen menjadi sesuatu hal penting karena persepsi konsumen atas kualitas layanan akan menentukan niat berperilakunya di masa mendatang. Zeithaml, Berry dan Parasuraman mengatakan bahwa kualitas jasa (service quality) merupakan faktor yang menentukan apakah konsumen tetap bertahan atau beralih ke perusahaan lain.


Kualitas jasa yang dinilai baik oleh konsumen dapat mempengaruhi niat berperilaku yang menyenangkan (favorable), dalam hal ini konsumen cenderung untuk bertahan di perusahaan yang bersangkutan. Sebaliknya, kualitas jasa yang dinilai buruk dapat mempengaruhi niat berperilaku yang tidak menyenangkan (unfavorable).

Menurut Josee Bloemer, Ruyter dan Wetzel adanya kepuasan pelanggan dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya adalah hubungan antara perusahaan dan para pelanggannya menjadi harmonis, memberikan dasar yang baik untuk pembelian kembali, dapat mendorong terciptanya loyalitas pelanggan, dan timbulnya kesediaan pelanggan untuk membayar dengan harga yang wajar atas jasa yang diterimanya.

Menurut Hawkins, konsumen yang setia atau pelanggan yang mempunyai komitmen (commited customer) terhadap suatu perusahaan atau merek, memiliki kecintaan emosional kepada suatu merek atau perusahaan tersebut. Para pelanggan yang menyukai perusahaan atau merek dapat tercermin dalam sikap atau gaya yang mirip dengan persahabatan. Konsumen berekspresi seperti – Saya percaya pada perusahaan atau merek ini. Sikap pelanggan ini menggambarkan komitmen terhadap perusahaan.

Oleh karena itu di tengah persaingan yang semakin ketat ini diperlukan upaya untuk membina hubungan yang baik antara penyedia jasa dan pelanggan yang menurut Tjiptono terjalinnya kemitraan jangka panjang dengan pelanggan secara terus menerus sehingga diharapkan dapat terjadi bisnis ulangan (repeat business).

Verhoef menyampaikan pentingnya pemahaman persepsi atas hubungan dengan pelanggan (customers’ relationship perceptions atau CRP) ini. Karena CRP yang meliputi kepuasan pelanggan (satisfaction), kesediaan membayar dengan harga wajar (payment equity) dan perasaan komitmen (affective commitment) terhadap perusahaan akan berdampak terhadap penggunaan kembali jasa di waktu yang akan datang (customers retention).


Mengelompokkan Konsumen Melalui Gaya Hidup

Adanya berbagai produk yang ditawarkan suatu perusahaan memberikan alternatif untuk memilih produk serta memutuskan pada perusahaan mana konsumen akan menjadi pelanggan. Keadaan ini menyebabkan timbulnya persaingan tajam antar perusahaan, agar berhasil menghadapi persaingan tersebut, maka konsep pemasaran yang berorientasi pada konsumen (consumer oriented) menjadi penting dan perusahaan harus memperhatikan serta memahami perilaku konsumennya dalam memutuskan pembelian produk.

Dengan memahami karakteristik personal konsumen, segmentasi bisa dilakukan dengan melihat dari berbagai aspek yang ada pada konsumen. Misalnya saja gaya hidup, pemahaman yang terintegrasi atas berbagai aspek konsumen akan memudahkan pemasaran untuk melakukan tindakan yang efektif dalam kebijakan pemasarannya.

Gaya hidup menurut Hair dan McDaniel adalah cara hidup, yang diidentifikasi melalui aktivitas seseorang, minat, dan pendapat seseorang. Penilaian gaya hidup dapat dilakukan melalui analisa psychografi. Psychografi merupakan teknik analisis untuk mengetahui gaya hidup konsumen sehingga dapat dikelompokkan berdasarkan karakteristik gaya hidupnya. Menurut Kasali gaya hidup mencerminkan bagaimana seseorang menghabiskan waktu dan uangnya yang dinyatakan dalam aktivitas-aktivitas, minat dan opini-opininya.

Pendekatan gaya hidup cenderung mengklasifikasikan konsumen berdasarkan variabel-variabel Activity, Interest, Opinion, yaitu aktivitas, interes (minat), dan opini (pandangan-pandangan). Menurut Setiadi sikap tertentu yang dimiliki konsumen terhadap suatu objek tertentu bisa mencerminkan gaya hidupnya. Gaya hidup seseorang bisa juga dilihat dari apa yang disenangi, ataupun pendapatnya mengenai objek tertentu.

Gaya hidup hanyalah salah satu cara mengelompokkan konsumen secara psikografis. Gaya hidup pada prinsipnya adalah bagaimana seseorang menghabiskan waktu dan uangnya. Ada orang yang senang mencari hiburan bersama kawan-kawannya, ada yang senang menyendiri, ada yang bepergian bersama keluarga, berbelanja, melakukan aktivitas yang dinamis, dan ada pula yang memiliki dan waktu luang dan uang berlebih untuk kegiatan sosial-keagamaan. Kasali menyatakan bahwa gaya hidup mempengaruhi perilaku seseorang, dan akhirnya menentukan pilihan-pilihan konsumsi seseorang.

Begitu pula menurut Mowen dan Minor yang menyatakan bahwa penting bagi pemasar untuk melakukan segmentasi pasar dengan mengidentifikasi gaya hidup melalui pola perilaku pembelian produk yang konsisten, penggunaan waktu konsumen, dan keterlibatannya dalam berbagai aktivitas. Mowen dan Minor menegaskan bahwa gaya hidup merujuk pada bagaimana orang hidup, bagaimana mereka membelanjakan uangnya, dan bagaimana mereka mengalokasikan waktu mereka. Hal ini dinilai dengan bertanya kepada konsumen tentang aktivitas, minat, dan opini mereka, gaya hidup berhubungan dengan tindakan nyata dan pembelian yang dilakukan konsumen.

Pengukuran Loyalitas

Seperti artikel sebelumnya mengenai loyalitas, maka pada bagian ini artikel yang sebetulnya menjadi lanjutannya yaitu pengukuran loyalitas. Menurut Aaker terdapat beberapa pendekatan untuk mengukur loyalitas konsumen seperti :behavior measures, switching costs, measuring satisfaction, liking of the brand dan commitment:

1. Behavior measures
Merupakan suatu cara langsung untuk mengukur loyalitas terutama terhadap perilaku yang dilakukan karena kebiasan adalah untuk mempertimbangkan pada pembelian yang benar-benar dilakukan (actual purchase pattern).


Terdapat 3 cara dalam pengukuran perilaku yyang dapat digunakan yaitu :
a. Repurchase rates yaitu pengukuran terhadap prosentase pembelian konsumen terhadap merek yang sama pada pembelian berikutnya.
b. Percent of purchase yaitu pegukuran terhadap pembelian merek yang telah dibeli dibandingkan dengan merek-merek lain dari suatu jumlah pembelian tertentu yang terakhir.
c. Number of brands purchased yaitu pengukuran terhadap prosentase konsumen tersebut menggunakan satu merek, dua merek atau lebih.

2. Switching costs
Merupakan suatu pendekatan dalam mengukur loyalitas dengan mengukur perbedaan pengorbanan atau risiko kegagalan, biaya energi dan fisik yang dikeluarkan konsumen karena ia memilih salah satu alternatif. Apabila switching costs besar maka seorang konsumen akan lebih berhati-hati dalam berpindah ke merek lain karena risiko kegagalan yang dihadapi juga besar, begitu pula sebaliknya, switching costs kecil maka seorang konsumen akan lebih mudah dalam berpindah ke merek lain karena risiko kegagalan yang dihadapi kecil pula. Dengan demikian pendekatan ini digunakan untuk mengukur loyalitas seorang konsumen.


3. Measuring satisfaction
Pendekatan dalam mengukur loyalitas dengan cara mengukur kepuasan yang diperoleh dari suatu merek tertentu. apabila setelah menggunakan suatu merek tertentu dan konsumen tersebut merasa puas atau sudah merasa mendapat manfaat sesuai dengan harapannya, hal ini akan menyebabkan ia berhenti menggunakan merek lain dan memutuskan untuk membeli merek tersebut secara konsisten sepanjang waktu, yang artinya telah tercipta loyalitas konsumen terhadap suatu merek.


4. Liking of the brand
Pendekatan ini diukur melalui tingkat kesukaan konsumen terhadap merek secara umum. Hal ini dapat diukur melalui timbulnya kesukaan terhadap suatu merek baik suka pada badan usaha sebagai produsen, persepsi dan atribut merek yang bersangkutan, maupun pada kepercayaan terhadap merek tersebut. Konsumen dikatakan loyal apabila pembelian tyerhadap merek tersebut bukan karena adanya penawaran khusus, tetapi karena konsumen percaya pada kualitas merek tersebut.


5. Commitment
Pendekatan ini diukur dari komitmen konsumen terhadap suatu merek tertentu. Loyalitas konsumen dapat timbul bila ada kepercayaan dari konsumen terhadap merek sehingga ada komunikasi dan interaksi diantara konsumennya yaitu dengan membicarakan, merekomendasikan dan bahkan mengajurkan pada orang lain dengan menjelaskan mengapa ia membeli dan menggunakan produk tersebut. Apabila cocok dengan apa yang diharapkan, maka akan timbul loyalitas konsumen terhadap suatu merek.


Dengan mengetahui pengukuran loyalitas ini diharapkan tingkat loyalitas konsumen dapat diketahui secara lebih jelas. Selanjutnya adalah upaya-upaya untuk mempertahankannya.

Pengertian Loyalitas

Perilaku konsumen sebagai bagian dari kegiatan manusia yang selalu berubah sesuai dengan pengaruh lingkungan dan sosial di mana dia berada. Namun perilaku konsumen yang diharapkan tetap terus ada bagi perusahaan adalah loyalitas. Loyalitas berarti pelanggan terus melakukan pembelian secara berkala. Namun terdapat beberapa definisi dari loyal ini menurut pakar marketing, antara lain sebagai berikut :

Menurut Lovelock, "Loyalitas sebagai kemauan pelanggan untuk terus mendukung sebuah perusahaan dalam jangka panjang, membeli dan menggunakan produk dan jasanya atas dasar rasa suka yang ekslusif dan secara sukarela merekomendasikan produk perusahaan pada para kerabatnya."

Menurut Aaker, ”Loyalitas merek merupakan satu ukuran keterkaitan seorang pelanggan pada sebuah merek.” Aaker menambahkan, suatu cara langsung untuk menetapkan loyalitas, terutama untuk perilaku kebiasaan (habitual behavior), adalah memperhitungkan pola-pola pembelian aktual. Diantara ukuran-ukuran yang digunakan adalah : laju pembelian ulang, persentase pembelian dan jumlah merek yang dibeli.

Loyalitas pelanggan tidak terbentuk dalam waktu yang singkat, tetapi melalui proses belajar atau proses pencarian informasi dan berdasarkan pengalaman nasabah dari pembelian yang konsisten sepanjang waktu. Orang yang setia terhadap merek (brand loyalist) memiliki ikatan perasaan (afektif) yang kuat kepada merek favorit yang biasa mereka beli.

3 Faktor Yang Mempengaruhi Proses Pengambilan Keputusan Konsumen

Sebelum membeli suatu produk atau menggunakan suatu layanan jasa, konsumen melakukan pengambilan keputusan dan sebelum sampai ke keputusan, konsumen melakukan proses mempersepsikan dan mengevaluasi segala informasi yang menyertainya.

Nah inilah komponen inti dari proses pengambilan keputusan yaitu proses mempersepsikan dan mengevaluasi informasi, mempertimbangkan alternatif yang memenuhi kebutuhan konsumen dan mengambil keputusan pada suatu merk tertentu.

Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan oleh konsumen yaitu :

1. Faktor Pribadi (Individual Consumer)
Pemilihan terhadap merk dipengaruhi oleh kebutuhan konsumen, persepsi terhadap karakteristik merk, dan sikap mereka terhadap merek.

2. Pengaruh Lingkungan (Enviromental Influences) Lingkungan yang mempengaruhi pembelian oleh seorang konsumen dalam kultur, kelas sosial, keluarga, kelompok masyarakat, dan situasi pada saat itu.

3. Strategi Pemasaran (Marketing Strategy) Variabel-variabel yang berpengaruh dari strategi pemasaran adalah produk, harga, promosi, dan distribusi. Pemasar harus mendapatkan informasi tentang tanggapan konsumen terhadap strategi pemasaran atau marketing mix untuk mengevaluasi kesempatan pasar sebelum mereka mengembangkan strategi pemasaran yang baru.

Segera setelah konsumen membuat keputusan, pengevaluasian setelah pembelian yang merupakan umpan balik dari konsumen terjadi selama pengevaluasian, konsumen belajar dari pengalaman dan mungkin menambah pola konsumen dalam mencari informasi, menilai suatu merk, menyeleksi suatu merk. Pengalaman konsumen akan mempengaruhi langsung apakah merk yang sama akan dibeli lagi.

Sementara umpan balik dari tanggapan konsumen bagi pemasar adalah dalam bentuk data penjualan dan pangsa pasar, namun informasi ini belum cukup karena tidak memberikan pengetahuan mengapa konsumen membeli atau menyediakan informasi atas kekuatan dan kelemahan merk pemasar dan situasi persaingan.

Pemasaran Jasa Tidak Cukup Dengan Pemasaran Eksternal (4P)

Kata 4 P (Product, Price, Promotion, Place) mungkin manjadi kata yang paling sering didengar atau diucapkan oleh mahasiswa atau siapapun yang bergelut di dunia marketing. Dalam sektor industri jasa 4 P ini atau disebut juga pemasaran eksternal tidak kuat perannya bila tidak ditunjang oleh pemasaran lainnya.

Menurut Kotler pemasaran jasa tidak saja memerlukan pemasaran tradisional 4P (pemasaran eksternal), tetapi juga dua strategi pemasaran lainnya, yaitu pemasaran internal dan pemasaran interaktif.

Pemasaran eksternal menggambarkan kerja normal yang dilakukan oleh perusahaan untuk mempersiapkan, menentukan harga, mendistribusikan, dan mempromosikan jasa tersebut kepada konsumen.

Pemasaran internal menggambarkan pekerjaan yang dilakukan perusahaan untuk melatih dan mendorong pelanggan internalnya, yaitu karyawan penghubung pelanggan dan karyawan pendukung pelayanan untuk bekerja sebagai sebuah tim agar dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan.

Pemasaran interaktif menjelaskan keahlian karyawan dalam menangani hubungan pelanggan. Dalam pemasaran jasa, mutu pelayanan ditentukan oleh yang melakukan pelayanan. Konsumen yang menikmati jasa dan menilai mutu jasa tidak saja dari sudut pandang mutu teknisnya, tapi juga didasarkan atas mutu fungsionalnya.

Harapan Konsumen Dalam Memilih Penyedia Jasa

Tentunya banyak sekali pengharapan konsumen pada penyedia jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Namun Zeithaml mengelompokkannya dalam beberapa faktor penting di mana konsumen memilih penyedia jasa, yaitu :

1. Komunikasi dari mulut ke mulut (word of mouth communication)
Informasi yang didengar dari konsumen lain merupakan determinan pengharapan yang potensial. Contohnya, seseorang mengharapkan kualitas pelayanan yang baik dari sebuah persewaan tempat untuk acara resepsi atas dasar rekomendasi dari teman atau tetangganya.


2. Kebutuhan pribadi (personal needs)
Pengharapan seseorang juga dapat dipengaruhi oleh karakteristik dan keadaan perorangan, atau dengan kata lain dipengaruhi oleh kebutuhan pribadinya. Contohnya, pengguna telepon genggam sebagian ingin pemakaian pulsanya dapat dikendalikan dengan membeli voucher pulsa atau pra bayar, atau ada yang menginginkan pemakaian pulsa tanpa batas dengan menggunakan fasilitas pasca bayar.


3. Pengalaman masa lalu (past experience)
Pengalaman pemakaian jasa pada masa lalu juga dapat mempengaruhi tingkat pengharapan konsumen. Contohnya, pengguna jasa konstruksi mempunyai harapan yang tinggi terhadap kualitas dan disain suatu bangunan, dan dia akan mengesampingkan perilaku dari kontraktornya.


4. Komunikasi eksternal (external communication)
Komunikasi eksternal yang diberikan perusahaan baik secara langsung maupun tak langsung memegang peranan penting dalam membentuk pengharapan konsumen. Contohnya, iklan yang menggambarkan lingkungan hotel yang nyaman, asri, dan pelayanan yang ramah dari karyawannya.



Pengertian Kualitas Jasa

Dalam kehidupan sehari-hari sadar atau tidak Kita dilingkupi oleh berbagai jasa yang melayani aktivitas mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Sejak berkembangnya sektor industri jasa, kualitas jasa telah menjadi masalah penting bagi seluruh umat konsumenLebih-lebih pada saat ini, dengan meningkatnya intensitas persaingan dan jumlah pesaing menuntut setiap perusahaan untuk selalu memperhatikan kebutuhan dan keinginan konsumen serta berusaha memenuhi harapannya dengan cara lebih memuaskan daripada yang dilakukan oleh pesaing.

Menurut Kotler salah satu cara dalam membedakan perusahaan jasa adalah memberikan jasa dengan kualitas yang lebih tinggi dari pesaing secara konsisten. Sementara Zeithaml mendefinisikan kualitas jasa sebagai berikut:

“…service quality, as perceived by customers, can be defined as the extent of discrepancy between customers’ expectations or desires and their perseption.”

Jadi menurut kedua pakar tersebut kualitas jasa dapat diperoleh dengan cara membandingkan antara pengharapan konsumen dengan penilaian mereka terhadap kinerja yang sebenarnya.
Setelah menerima pelayanan, konsumen akan membandingkan antara pelayanan yang diharapkan dan pelayanan yang mereka terima. Jika pelayanan yang diterima berada di bawah pelayanan yang diharapkan, konsumen akan tidak puas dan kehilangan kepercayaan terhadap penyedia jasa tersebut. Sebaliknya jika pelayanan yang diterima sesuai atau melebihi pelayanan yang diharapkan, konsumen akan puas. Jadi kuncinya adalah menyesuaikan atau melebihi harapan konsumen.

Positioning at the Trough

Seven simple steps to successfully position your brand to benefit from the ever-growing 2009 government stimulus programs.

As democrats, republicans, conservatives, liberals, socialists, capitalists, Keynesians or Greenspansians, we have all taken refuge around the rallying cry, “They are too big to let fail”. Billions have turned in to trillions and the government assistance trough has never looked fuller or more important to the success of American brand capitalism.

2008 saw once invincible brands fall, one after another. As a result, the modern view of branding and its relative importance and value to an organizations success, has taken a very large blow.
The auto companies flew to Washington with brands a blazing, only to be escorted to the door with their tails between the legs.
For weeks, media pundits commented on the big three CEO’s poor performance, but the bigger brand story remains untold.

These three gentlemen are very lucky today, for not even the existing Bush or incoming Obama stood up for them. The gentlemen were saved by their companies’ brands. Despite their three brands incredible mismanagement, they were positioned to be among the first to line up at the rapidly growing government trough.

Their story of brand mismanagement, repositioning, reinvestment and commitment can serve us all in better understanding the importance of brand, it’s meaning, power, role and value in a successful free market economy. These lessons are laid out as 7 simple steps every brand, big or small, can take to successfully position itself to benefit from the ever-growing 2009 government stimulus programs.

1. Focus on the right business At first glance this appears obvious and in many ways it is, but after years of helping clients rethink this question and refocus their answer, it’s power to set to direct and set the proper tone for the entire organization becomes crystal clear.

The big three, (GM, Ford, and Chrysler) went to Washington asking for billions to bail out the car companies, “the backbone of American business”. By simply redefining and focusing their business on developing better transportation vs. building cars, they would have communicated that they were looking for support in building our future rather than sustaining their past.

2. Use a bit of brand contrition Nobody has stepped to the front of the class to explain what has caused this current economic crisis. The blame, right or wrong, is being placed at everyone’s’ feet, and your brand must accept some of that responsibility.
The internet, cable news, cell phones, etc., have put all brands under much more scrutiny today, and brands within site, sound, or text of the government feeding frenzy are under a virtual microscope.
Flying on corporate jets or over reacting and personally driving over 20 hours does not show contrition or sensitivity, simply defiant arrogance.
Take a step back, out of your office, plane, car, and country club and take a moment to view your brand from the perspective of your new additional customers: taxpayers, politicians, and pundits.

3. Understand the difference between confidence and arrogance Brand Ford did the best job of the big three at this over the last 90 days. They brought out both Bill Ford, ex CEO, and recently appointed CEO, Allen Mulally to make their case. Bill Ford, the green visionary shackled as a quintessential industry insider, and Allen Mulally, the industry outsider from Boeing who is credited with turning that massive organization around with the successful Dream Liner. The result is a leadership team that demonstrates contrition (Bill Ford) and confidence (Allen Mulally).

Together they are helping to build a brand that communicates confidence rather than displaying arrogance. An organization that recognizes they do have all of the answers, but that is committed to taking the steps necessary to get the job done.

4. Extend your brand benefits from consumers to taxpayers to society This is perhaps the toughest challenge in today’s environment, fall short and you could walk away with no money and more regulations. Over state your brand’s benefits and you will suffer the consequences of being seen as just another slick marketer.

The big three get a passing grade in this area. They clearly went overboard when making claims that no one other than they could build cars in America and export them on their scale. We all have seen Honda, Toyota, and BMW do it, not to the same scale, but the strength of their brands tell us they could if given the opening.
Much better was the many little stories showcasing the extent to the big three’s reach into the American economy. The thousands of big and small suppliers that are spread across America, many owned by families and supporting small town diners, governments, and churches.

5. Differentiate yourself with urgency Many more brands are beginning to get in line for government billions; soon the line will grow into a large crowd. Quickly government prioritization will not only be determined by desperate need, but urgent action. Desperation in some cases works, as in the case of financial services and auto sectors, but quickly Americans are getting tired of the screams for help, and are rather turning towards the calls for urgent action.

Communicating a sense of urgency correctly comes with an understanding of reality and inspiration that says our brand is ready to contribute to turning this economy around NOW. A colleague of mine, Denis Riney, categorizes these brands as “Shovel ready” as a means to communicate they are ready to take advantage of the proposed billions promised to flow in the name of infrastructure reinvestment.

6. Keep your message consistent The big three utterly failed on this one and as a result looked inept and confused as they spun around chasing their tails. On the other hand we have to look no further than Barack Obama and his brand manager David Axelrod for a contemporary case study that will be sure to be studied by brand marketers for years to come.
Brand Obama stayed focused on “change” through out the campaign as others, most notably Clinton, chased focus groups changing her message so many times no one remembers what she was trying to communicate.

7. Don’t be afraid to say no Sometimes the most powerful brand message is to say no. Charles Schwab quickly said no to federal banking bail out funds reinforcing the long-term brand message of no-nonsense, trusted and unbiased financial advisory services. A number of smaller regional banks have chosen to pass on federal assistance helping to differentiate them selves and instill consumer confidence.
Ford attempted to do this by saying no to loans but yes to a line of credit. If they passed on the industries trek to seek handouts from Washington they may have differentiated themselves from their competitors while building some real brand value, but instead this nuance was lost with of all their valued brand constituents from consumers and the media to union and government leaders.

GE is perhaps the best example of a firm that desperately needed the cash, but strategically chose to protect their brands reputation and instead stuck a deal with legendary investor Warren Buffet under much less favorable financial terms, but much better brand terms.
Whether you need to position your brand at our government’s money trough to simply survive or expand in to the emerging high growth opportunities that infrastructure, energy, education, and healthcare will bring, follow these 7 simple branding stimulus steps: Focus, Contrition, Confidence, Expansion, Urgency, Consistency, and not being afraid to say No. Big or small your brand will be better positioned to benefit from the ever-growing 2009 government stimulus programs.


Many will say the melt down of 2008 was the year branding died, but to those I say good-bye and good-riddance.

2009 will be the year that reestablished how important a tool a well-positioned brand is to driving an organization to new levels of success, and that should inspire us all.

_____________
By Bill Engler - a recognized industry thought leader and Principal with BrandLogic, the nations leading independent brand consultancy.

Last Update Artikel Marketing:

Artikel Marketing Lainnya:

Blog Link: